5 Prinsip Dasar Ekonomi Islam

ekonomi islam

Mutiaramakna. Dasar ekonomi Islam tertuang dalam norma-norma spiritual Islam. Ekonomi Islam didasarkan pada paradigma yang memiliki tujuan utama keadilan sosial-ekonomi (Al-Quran, 57:25). Berbeda dengan sistem ekonomi modern yang didasarkan pada filsafat duniawi, sistem ekonomi Islam secara langsung dipandu oleh Allah Yang Maha Kuasa.

Dasar Ekonomi Islam

Ketika sistem ekonomi Islam berada dalam tahap awal perkembangannya, Al-Quran memberikan petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW mengenai penerapannya yang efektif. Karena sistem ini dipandu oleh Yang Maha Kuasa, maka bersifat spiritual.

Selain itu, semua aspek penting dari sistem ekonomi Islam dan norma-norma yang berlaku telah dibahas secara mendalam dalam Al-Quran. Baik itu produksi, konsumsi, distribusi, maupun sistem keuangan, semuanya telah dibahas dengan cukup dalam Kitab Suci ini. Al-Quran sendiri menyatakan bahwa Allah Yang Maha Kuasa menciptakan manusia sebagai Khalifah-Nya di bumi ini, dan Dia menciptakan semua kebutuhan yang diperlukan agar manusia dapat mengonsumsinya dan memuaskan keinginan mereka.

Dia menyatakan, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelummu (yaitu jin) agar kamu bertakwa kepada-Nya. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghasilkan dengan air itu segala macam buah-buahan sebagai rezeki untukmu.

Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22). Beberapa prinsip sistem ekonomi Islam, sebagaimana yang ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah, dibahas sebagai berikut:

a. Allah Menentukan yang Benar dan Salah

ekonomi islam 2

Sistem ekonomi Islam pada dasarnya harus membedakan antara apa yang diperbolehkan dan halal, dan apa yang dilarang dan haram, juga wajib dan makruh. Menentukan apa yang diperbolehkan (halal) dan apa yang dilarang (haram) adalah hak prerogatif Allah semata.

Hanya Allah yang berwenang menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Allah telah membatasi antara yang halal dan yang haram dalam ranah ekonomi dan mengizinkan manusia menikmati makanan dan benda-benda lain yang halal, serta menghindari hal-hal yang haram.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan barang yang baik yang telah Allah halalkan bagimu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah.” (5:87-88)

Tidak ada manusia yang memiliki kuasa untuk menentukan apa yang benar (halal) dan apa yang salah (haram). Al-Quran menjelaskan prinsip ini dengan jelas ketika memerintahkan: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang diucapkan lidahmu, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kedustaan terhadap Allah…” (16:116)

b. Prinsip Penggunaan

Dalam batasan yang diizinkan (halal) dan yang dilarang (haram) oleh Allah, serta dengan mempertimbangkan aturan-aturan keteraturan dan kebijaksanaan, manusia diberi kebebasan untuk sepenuhnya menikmati karunia-karunia Allah yang diberikan kepadanya.

Al-Quran berfirman: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (2:168). Di tempat lain, kitab suci Islam menyatakan: “Maka makanlah dari rezeki yang halal dan baik yang telah Allah berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada nikmat Tuhanmu jika kamu hanya kepada-Nya menyembah…” (16:114).

Namun, prinsip penggunaan tidak boleh dilebih-lebihkan sehingga mengakibatkan pemborosan dan pemborosan sumber daya ekonomi. Al-Quran menekankan hal ini ketika mengingatkan manusia: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap masjid, dan makan dan minumlah, dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (7:31)

Semua benda telah diciptakan oleh Allah untuk digunakan dan melayani manusia. Menahan diri sendiri atau melarang orang lain untuk menikmati barang-barang makanan yang halal dan benda-benda lain yang diperbolehkan sama dengan menolak berkah dan karunia Allah, yang sangat dilarang.

Al-Quran melarangnya dengan kata-kata yang jelas ketika berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan barang yang baik yang telah Allah halalkan bagimu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (5:87).

Dalam ayat lain, Al-Quran menanyakan kepada mereka yang membatasi penggunaan beberapa hal tanpa izin ilahi: “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?…” (7:32). Dengan demikian, Al-Quran mengecam cara hidup para biarawan dan asketis yang menganggap kepuasan kebutuhan fisik sebagai hambatan dalam perkembangan spiritual.

Baca juga : Wanita Mukminah Laksana Pohon Zaytun 

c. Prinsip Kepemoderasian

Islam dengan tegas menyarankan kepada pengikutnya untuk tidak melampaui batas dan mengikuti ekstremisme begitu pula dalam ekonomi Islam. Umat Muslim dalam Al-Quran disebut sebagai umat yang moderat (2:143). Oleh karena itu, prinsip kepemoderasian memiliki pentingan yang sangat besar, terutama dalam bidang ekonomi. Prinsip ini diterapkan oleh orang-orang yang beriman sejati baik dalam menghasilkan kekayaan maupun dalam konsumsi dan pengeluaran kekayaan.

Meskipun menghasilkan kekayaan melalui cara yang diizinkan (halal) diperbolehkan, namun ketakwaan menuntut agar seorang Muslim tidak menjadi gila dengan mengumpulkan kekayaan seperti seorang materialis yang serakah. Ia harus menahan diri dan menghasilkan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan halalnya. Kekayaan ekstra, jika ada, dapat dihabiskan di jalan Allah untuk amal dan membantu orang miskin.

Demikian pula, dalam konsumsi dan pengeluaran kekayaan, seorang mukmin disarankan untuk mencapai keseimbangan dengan menghindari kikir dan pemborosan. Orang kikir adalah orang yang bahkan tidak memenuhi kebutuhan yang sah bagi dirinya dan keluarganya, apalagi melakukan pengeluaran untuk amal dan tujuan mulia.

Orang pemboros adalah orang yang memboroskan kekayaannya untuk kemewahan, perjudian, minuman keras, dan pengeluaran mewah dalam perayaan, pernikahan, dan kehidupan sehari-hari. Islam mengutuk kedua sikap kikir dan pemborosan, dan mewajibkan seorang mukmin untuk menjaga kepemoderasian. Al-Quran mengapresiasi mereka yang menjaga kepemoderasian dalam pengeluaran ketika berfirman: “Dan orang-orang yang apabila mereka menafkahkan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak kikir, dan adalah kemaslahatan di antara kedua sikap itu.” (25:67)

d. Kebebasan Ekonomi Islam

Setiap individu, menurut Islam, bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan di dunia ini. Dia akan mendapatkan pahala atas tindakan baiknya dan dihukum atas tindakan jahatnya di akhirat. Pertanggungjawaban atas tindakan individu tidak bermakna jika individu tersebut tidak diberi kebebasan yang wajar untuk bertindak secara independen.

Oleh karena itu, Islam memberikan nilai tertinggi pada kebebasan individu untuk bertindak di setiap bidang kegiatan manusia, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, agama, moral, dan lain-lain. Prinsip kebebasan ekonomi dalam Islam berarti bahwa individu diberikan kebebasan oleh Allah untuk menghasilkan kekayaan, memiliki kekayaan, menikmatinya, dan menghabiskannya sesuai keinginannya. Ini juga mencakup kebebasan untuk mengadopsi profesi, usaha, atau pekerjaan apa pun untuk mencari nafkah.

Namun, Islam tidak memberikan kebebasan tanpa batas dalam ranah ekonomi. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, Islam membedakan antara yang halal (dibenarkan) dan yang haram (dilarang). Dalam bidang produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi, hanya cara yang halal yang diperbolehkan. Dengan tetap mematuhi batasan halal dan haram, seseorang menikmati kebebasan penuh untuk menghasilkan dan menghabiskan kekayaan sesuai keinginannya.

Dengan demikian, Islam mengakui usaha bebas, inisiatif manusia, dan potensi individu. Islam juga mengakui peran organisasi, modal, tenaga kerja, dan kekuatan pasar dalam bidang ekonomi Islam. Tidak ada pembatasan yang tidak perlu diberlakukan pada individu atau organisasi dalam hal menghasilkan atau memiliki kekayaan. Tidak ada batasan atau plafon yang ditetapkan pada kepemilikan atau kekayaan.

Selain batasan halal dan haram, pembatasan lain jarang dikenakan pada aktivitas ekonomi, harga barang, kepemilikan, atau monopoli kecuali jika hal tersebut benar-benar diperlukan untuk menjaga kepentingan umum komunitas Muslim.

e. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan Islam berlaku dalam setiap bidang aktivitas manusia, baik itu hukum, sosial, politik, atau ekonomi. Sistem ekonomi Islam, sebenarnya didasarkan pada prinsip keadilan yang mengatur semua aspek dasar ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, dan pertukaran. Dalam bidang produksi, prinsip keadilan Islam memastikan bahwa tidak ada yang dieksploitasi oleh orang lain dan bahwa tidak ada yang memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak adil, tidak adil, melanggar hukum, dan curang.

Umat Islam diperbolehkan untuk memperoleh kekayaan melalui cara yang adil dan wajar. Islam mengakui hak setiap individu untuk mencari nafkah, memperoleh kekayaan, memiliki properti, dan menjalani kehidupan yang nyaman. Namun, Islam tidak mengizinkan orang-orang mengumpulkan kekayaan melalui suap, korupsi, penyelewengan, pencurian, perampokan, perjudian, perdagangan narkotika, eksploitasi, riba, penipuan, penimbunan, perdagangan gelap, prostitusi, praktik tidak etis dalam bisnis, profesi amoral, atau melalui metode yang tidak adil lainnya.

Dalam bidang distribusi, prinsip keadilan Islam memainkan peran paling penting. Salah satu kontribusi terbesar Islam terhadap umat manusia adalah Islam menjamin distribusi kekayaan yang adil dan setara di antara masyarakat. Keadilan dalam distribusi, yang disebut dengan berbagai nama seperti keadilan ekonomi, sosial, atau distribusi, menuntut agar sumber daya ekonomi dan kekayaan didistribusikan di antara anggota masyarakat sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin dapat disamakan, dan setiap orang dapat memperoleh kebutuhan dasar hidup.

Islam menentang konsentrasi kekayaan di tangan sedikit orang dan memastikan peredaran kekayaan di masyarakat tidak hanya melalui pendidikan dan pelatihan moral, tetapi juga melalui tindakan hukum yang efektif. Sistem Sadaqat, Zakat, dan sedekah sukarela bersama dengan hukum waris membantu distribusi kekayaan di kalangan seluruh lapisan masyarakat.

mutiara makna ekonomi Islam.